Pemilu legislatif telah usai diselenggarakan dengan segala permasalahannya. Setelah hari pemilihan, isu yang sangat menarik perhatian publik dan media adalah persoalan “koalisi” antar partai dan setelahnya isu Capres dan Cawapresnya. Seolah-olah bahwa setelah warga negara memilih di hari pemilihan, hak menentukan bagaimana politik negeri ini akan dijalankan menjadi milik pimpinan partai politik yang melakukan manuver pembentukan koalisi.
Mungkin alasan Anda memilih PDI-P adalah karena masih menyimpan simpati pada tertindasnya Megawati Soekarnoputri di penghujung Orde Baru pada 1996 saat kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jl. Diponegoro Jakarta diserbu gerombolan yang direstui (minimal dibiarkan) oleh tentara ketika itu.
Power yang dimiliki para pemilih di hari pencontrengan, menguap begitu saja ketika suara dan kursi mulai dihitung. “Kekuasaan” kembali menjadi milik pimpinan partai.
Keadaan ini disebabkan satu hal fundamental, yakni bahwa koalisi di Indonesia baru dibentuk setelah hari pemilu, bukan sebelumnya. Desain sistem pemilihan kita menghendaki demikian. Partai-partai tidak “dipaksa” untuk menetapkan mitra koalisinya sebelum hari pemilihan.
Banyak pemerhati politik berpendapat, pemilu 2009 kemarin menjadi bukti bahwa partai-partai kita melemah. Buktinya adalah bahwa pemilih menetapkan pilihannya berdasarkan pesona figur, yang diperkuat pencitraan melalui iklan-iklan politik di televisi. Mesin partai tidak berjalan, popularitas figur menjadi faktor dominan, dan pemilih yang “rasional'”pada akhirnya menjadi penentu kata akhir.
Pandangan ini hanya setengah benar bila kita memperhatikan persoalan koalisi yang disebut di atas. Setelah pemilu, partai mengkalkulasi potensi koalisinya, tidak lagi menghiraukan para pemilihnya. Artinya, sebagai organisasi, partai politik kita ternyata masih kuat, dan boleh jadi masih bersifat oligarkis.
Sejatinya, ada dua cara untuk memahami kerja partai politik dalam kaitannya dengan demokrasi. Partai politik bisa dilihat dalam dua fungsinya. Pertama, partai dalam kaitannya dengan para pemilihnya (party-in-the-electorate). Kedua, partai sebagai organisasi dalam pemerintahan atau parlemen (party-in-the-government/party as an organization).
Naiknya suara Partai Demokrat secara drastis, dan turunnya suara Golkar dan PDI-P secara signifikan menunjukan bahwa dilihat dari sisi fungsinya sebagai party-in-the-electorate, sebagian besar partai-partai kita lemah. Sumber dukungannya tidak stabil, pemilih dengan mudah berpindah dari satu partai ke partai lain, menciptakan volatilitas yang tinggi. Dengan kata lain, partai-partai kita gagal membangun identitasnya di tengah pemilih. Negara yang demokrasinya mapan umumnya ditandai dengan volatilitas pemilih yang rendah, cermin identitas partai yang kuat di tengah pemilih.
Sebaliknya, sebagai organisasi di pemerintahan/parlemen, partai-partai kita demikian kuatnya sehingga bisa menentukan koalisi tanpa menghiraukan lagi para pemilihnya. Karena itu, paling tidak ada dua pekerjaan rumah yang menanti untuk perbaikan pemilu. Pertama, menciptakan mekanisme agar partai-partai politik “dipaksa” untuk menentukan koalisinya sebelum hari pemilihan. Dengan demikian, pimpinan partai tidak lagi berkesempatan untuk bertualang menggalang koalisi setelah hari pemilu. Salah satu cara untuk menciptakan mekanisme ini adalah dengan menyelenggarakan pemilu presiden dan legislatif di hari yang bersamaan, bukan dengan jeda seperti yang dilakukan dalam pemilu kita. Menjadi tugas DPR untuk mengkaji kemungkinan ini.
Kedua, sudah waktunya kita meninggalkan pandangan bahwa demi kerukunan sebaiknya kekuasaan dibagi-bagi. Koalisi, dengan bentuknya yang dijalankan partai politik kita saat ini, masih diletakkan di atas premis bagi-bagi kekuasaan, bukan pada platform.
Tidak mengherankan bila kita bisa melihat partai yang kalah dalam perolehan suara masih bisa bermanuver untuk ikut berkuasa. Contoh ekstrem adalah Partai Golkar. Menduga akan memperoleh suara signifikan, Partai Golkar berancang-ancang mengusung calon presidennya. Melihat suaranya merosot jauh, wacana melanjutkan duo SBY-JK menguat kembali.
Selayaknya kekuasaan tidak perlu dibagi. Biarkan pemenang pemilu menentukan sendiri mitranya dan menjalankan pemerintahan selama 5 tahun sesuai mandat sistem presidensialisme kita. Wajarnya, bahwa sebaiknya capres dan cawapres berasal dari satu partai yang sama.
Partai yang kalah cukup menjalankan peran oposisi di parlemen. Dengan demikian, sistem presidensialisme kita menguat dan sistem check-and-balances akan semakin berkembang. Untuk itu, kita perlu terus menerus menyederhanakan/mengurangi jumlah partai politik di parlemen. Banyaknya partai, yang pada kenyataannya memperoleh suara sangat minim, merupakan pemborosan politik .
Ada banyak cara untuk mengurangi jumlah partai politik. Salah satu yang mungkin perlu dipertimbangkan adalah menurunkan jumlah kursi yang diperebutkan di tiap daerah pemilihan (yang saat ini berkisar antara 3-10 kursi, bergantung dapil-nya). Bila kursi yang diperebutkan sedikit, jumlah caleg akan berkurang drastis. Lebih dari itu, jumlah partai juga akan berkurang secara alamiah. Pemilihan langsung legislatif lalu memberi pelajaran penting bagi banyak orang. Karena kursi yang diperebutkan banyak jumlahnya, banyak orang mencoba-coba menjadi caleg dan merasa yakin dirinya terpilih. Bila kursi yang diperebutkan lebih sedikit, tidak akan ada lagi orang-orang yang sekadar mencoba-coba menjadi caleg tanpa modal politik yang memadai.
Source : Philips Vermonte
1 komentar:
loh mi, ko sumbernya dari pa Philips, kirain itu data ramuan Helmi di Charta...
Posting Komentar